I. GEREJA PADA ABAD X
Sebagaimana diketahui, bahwa keberadaan Gereja pada Abad Pertengahan khususnya pada abad X, Eropa memasuki apa yang dinamakan masa feodal. Sepeninggal Charlemagne, penguasa Kerajaan Franka, hubungan Negara dan Gereja tidak serasi lagi. Abad X dan XI dihadapkan pada suatu krisis yang gawat ketika masyarakat semakin terfeodalisasikan. Gereja-Gereja jemaat lokal memiliki tanah, sebagian dari wilayah kekuasaan para tuan manor merupakan unit sosial khas dalam kehidupan masyarakat feodal. Gereja pada abad X, ketika Eropa memasuki zaman Feodal, para uskup sekaligus merupakan tuan-tuan tanah, bahkan sering pula menjadi vasal seorang raja.
Konflik antara raja dan paus sepeninggal Charlemagne, sebenarnya bersumber pada pengaturan kekuasaan. Sejak abad X, raja merasa memiliki hak dan wewenang baik yang menyangkut urusan kenegaraan maupun keagamaan. Paus beranggapan bahwa urusan-urusan Kerajaan Allah di bumi menjadi wewenangnya, dan dapat memerintah sah tidaknya seorang kepala Negara. Pauslah yang akhirnya menentukan siapakah pewaris mahkota, paus merasa bahwa untuk mengatur dan menata Kerajaan Tuhan atau Civitas Dei berada di tangannya. Usaha paus untuk mempertahankan kekuasaan keduniawiannya telah memerosotkan martabatnya.
Merupakan kenyataan, bahwa munculnya Gereja berasal dari era invasi suku-suku barabar selama berabad-abad yang disertai pula oleh tanda-tanda kemerosotan, kerapuhan, sampai keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat. Di Inggris, Perancis, dan Jerman, keberadaan Gereja diatur secara rapi oleh paus yang berkedudukan di Roma. Dalam masyarakat Gereja pada abad Pertengahan Awal, mereka memiliki dan mengatur tanah-tanahnya. Orang-orang Gereja utamanya para pemimpin Gereja sebagai penerima tanah dari raja dituntut kesetiaan pada Negara. Berbagai nasehat utamanya yang menyangkut masalah kerohanian amat diperlukan oleh para raja feodal Eropa. Selama abad X, di Jerman misalnya kedudukan para raja lokal atau daerah seperti counts dan dukes sebagai tuan tanah tidak selalu mentaati atau setia pada pusat kerajaan/ kekuasaan raja. Mereka merasa memiliki kekuasaan tesendiri berkat luasnya wilayah yang telah dikuasai. Secara hirarkhis pimpinan tertinggi dalam Gereja Roma adalah paus dan pendeta jemaat atau pendeta lokal sebagai pemimpin paling bawah.
Paus sebagai pucuk pimpinan selain memiliki kewenangan yang mengatur agama dapat pula menyangkut non agama. Dalam sistem kepausan dalam organisasi Gereja, paus sebagai pimpinan tertinggi dibantu oleh para kardinal dan pejabat di berbagai departemen istana kepausan di Roma. Masalah yang timbul dari kegiatan Gereja yang benar-benar bersifat keagamaan diselesaikan berdasar hukum Gereja melalui tiga peradilan. Paus sebagai pucuk pimpinan tertinggi Gereja Roma, memegang jabatan seumur hidup. Wewenang paus meluas hingga di luar keuskupan Roma. Sebagai gembala umat Kristus, dan uskup tertinggi, paus memiliki otoritas khusus di seluruh Gereja. Paus merupakan pejabat terrtinggi Gereja, di bawahnya kardinal, kemudian bishop-pertama, di ikuti oleh bishop, pastur, dan capellanus. Masing-masing bertanggungjawab pada orang yang ada di atasnya.
Dalam perkembangan agama Kristen, dalam abad IX, orang-orang Gereja telah mulai mengembangkan tuntutan Gereja dalam suatu masyarakat Kristen. Mereka menghendaki terbentuknya Negara Gereja. Dalam organisasi Gereja itu terlihat dengan tradisi pemerintahan Romawi. Organisasi itu merupakan daya dorong yang lebih besar bagi agama Kristen. Tanda-tanda perselisihan antara paus dan raja mulai Nampak sekitar abad X. Sumber konflik terletak pada masalah kekuasaan kerohanian dan keduniaan. Zaman feodal telah menempatkan para pendeta dari tingkat atas, karena kekayaan dan kedudukannya, sangat berkepentingan dalam setiap masa;lah yang bersifat keduniaan, terlepas dari Zaman Feodal posisi orang-orang Gereja pada Abad Pertengahan yang menyangkut masalah intelektualitas, lebih tinggi dibanding masyarakat non Gereja.
Abad-abad setelah runtuhnya Kekaisaran Romawi Barat, Gereja merupakan gudang yang terpenting dari cita-cita kuno tentang kekuasaan umum dan tertib masyarakat. Pejabat-pejabat Gereja adalah orang-orang terbaik untuk melaksanakan setiap politik raja yang memerlukan pengawasan. Pada pribadi para pejabat Gereja dari tingkat atasan ini organisasi Gereja dan negara bertemu dan saling bersentuhan. Memahami organisasi Gereja bagi orang yang non Nasrani, dirasa organisasi tersebut sulit dan cukup rumit, yang memiliki otoritas khusus dalam keimanan, moralitas, dan disiplin. Para pendeta telah dicalonkan oleh para tuan tanah dalam pekerjaannya sebagai semacam juru tulis untuk keperluan sang tuan tanah maupun yang berurusan dengan masalah keagamaan.
Keberadaan Gereja dalam masyarakat feodal X, menempatkan para pendeta lokal di berbagai desa harus tunduk dan taat pada sang tuan tanah. Konflik paus dan raja Nampak pada masalah kewenangan menyangkut atau menempatkan orang Gereja dalam masyarakat. Sering tindakan raja merendahkan moralitas para pendeta dan kaum awam serta mengancam misi keagamaan Gereja. Akibatnya, pada masa itu sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan wewenangnya hingga menimbulkan korupsi. Raja yang juga sebagai tuan manor sering melakukan simoni, yakni menjual atau membeli jabatan kegerejaan. Jabatan-jabatan uskup dan uskup agung sering dijual oleh bangsawan feodal kepada orang-orang yang bersedia patuh kepada mereka, lalu bangsawan feodal memandang jabatan kegerejaan sekedar sebagai kesempatan untuk mencari uang.
Sistem feodal pada abad X telah melahirkan dilematis tersendiri dalam hubungannya antara Negara dan Gereja. Pertikaian antara Gereja dan Negara yang bersumber pada masalah pengaturan kewenangan yang menyangkut keagamaan dan Negara atau urusan kerohanian dan urusan keduniaan. Semenjak meninggalnya Charlemagne pada abad IX, Kerajaan Franka terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang tidak teratur, para tuan tanah besar menerima kembali tanah miliknya sendiri. Selanjutnya, pejabat Gereja yang menjadi vasal tuannya tadi memegang kekuasaan baik di bidang rohani maupun duniawi atas wilayahnya, betul-betul berfungsi sebagai pegawai di dalam pemerintahan tuannya. Maka, sang tuan mengganggap dirinya sebagai pemilik hak istimewa untuk menentukan orang yang memerintah di wilayahnya, dan juga “menobatkan” orang tersebut dalam jabatannya, bahkan sampai dengan memberikan cincin dan tongkat kepausan, lambang kekuasaan rohani sejak dulu kala.
Tanda-tanda kemerosotan Gereja mulai nampak pada abad IX dan X. Kemerosotan itu tercermin dari ungkapan para pejabat tinggi dalam hirarkhi. Untuk memamerkan simoninya, salah seorang uskup berujar bahwa ia telah membeli jabatan uskup dengan uang emas, ia bersedia kembali menerima uang tersebut jika ia bertindak semestinya. Seorang pejabat Gereja bernama Manasses, yang juga melakukan simoni beranggapan bahwa tentunya menyenangkan sekali menjadi uskup di Rheims “seandainya tidak ada keharusan kadangkala mempersembahkan Misa”. Pada masa itu tercitra bahwa lingkungan pejabat Gereja dalam memberikan pelayanan dan cinta kasih kepada kaum miskin menjadi membosankan; kewajiban imam membaptis, menikahkan, dan menguburkan warga paroki sekarang hanya dapat dilaksanakan bila diberi imbalan uang. Jauh sebelum abad X, dalam hukum Gereja dikatakan, bahwa petinggi Gereja mempunyai kewajiban memberi pelayanan kepada orang miskin, itu merupakan panggilan jiwa bagi warga Gereja pada masa itu, apa yang dahulu pernah dikerjakan oleh para rahib melakukan pekerjaan keagamaan tanpa pamrih, secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan seperti konsep harus hidup miskin, suci, dan patuh kepada pemimipin.
Martabat paus sendiri turun dengan tajam jabatan ini diperdagangkan diantara kelompok puak bangsawan Romawi, dan pada suatu saat ada tiga orang yang sekaligus menyatakan bahwa jabatan itu adalah hak keluarganya. Seorang paus bernama Yohanes XII, pada tahun 963, ia dipecat oleh Konsili Gereja atas prakarsa Otto Agung, raja Jerman, raja pertama dengan kekuasaan besar di Eropa setelah Charlemagne. Tindakan Otto memecat paus Yohanes dan memggantikannya dengan paus pilihannya barangkali akibat mentalitas orang utara yang suka merampas, tetapi tindakan ini selanjutnya menyatakan bahwa kaisar berhak mengukuhkan atau menolak paus yang telah dipilih dan dinobatkan, dan dengan demikian mengeruhkan hubungan antara Gereja dan Negara.
II. REFORMASI BIARA CLUNY
Sewaktu terjadi invasi orang-orang barbar pada abad V, posisi Geraja cukup kuat menghadapi gelombang penyaerangan, hal itu Nampak pada kubu pertahanannya di Roma. Kebiasaan memimpin tetap dipegang Gereja bahkan waktu menghadapi serangan dari orang-orang barbar, Paus Leo Agung sendiri lah yang keluar menemui Atilla, raja Hun, yang ditakuti itu, diluar Roma, dan menghimbaunya agar tidak menghancurkan kota tersebut.
Sebagaimana diketahui, bahwa orang Hun termasuk ras Mongol, sering terjadi persekutuan antara orang Hun dan Goth. Ketika mereka menyerbu wilayah Gaul pada 451, mereka berselisih dengan orang Goth dalam memperebutkan wilayah tersebut. Orang Goth bersama orang Roma mengalahkan mereka dalam perang di daerah Chalous dalam tahun itu.
Disebagian besar Eropa, gangguan-gangguan keamanan yang mencekam mulai mereda dan kekuasaan orang barbar semakin kokoh, para penguasa baru ini akhirnya semakin mengandalkan nasehat-nasehat spiritual yang sangat bermanfaat bagi bangsa barbar dari orang-orang Geraja. Penguasa barbar sadar bahwa keahlian orang-orang Gereja telah membuktikan keberhasilannya sebagai Administrator yang berpengalaman,penjaga dan penerus pengetahuan dan pendidikan masa silam, orang-orang tersebut membangkitkan Eropa dalam perjalanannya yang lamban agar mampu keluar dari kekalutan yang mencekam. Orang-orang Gereja yang berada dalam garis depan adalah para rahib. Mereka merasa terdorong untuk berbuat sesuatu, baik untuk kepentingan pribadi meraka maupun didunia sekitarnya.
Sejak abad VI, timbul suatu organisasiyang disebut biara, sangat membantu Gereja menyiarka agama dan peradaban.lembaga itu mula pertama berasal dari Timur pada abad IV dan mulai tumbuh di Barat sebelum Romawi runtuh. Para rahib yang dikenal sebagai kaum idealis yang penuh semangat ini meninggalkan kehidupan duniawi dan masuk dalam alam sunyi. Mereka menghindari tindakan-tindakan kekerasan sebaliknya lebih menekuni pada perbuatan perenungan seperti perlunya berpuasa, berdoa, dan bersemadi.
Hal yang menarik dalam kehidupan membiara didunia barat adalah cara berorganisasi. Kehidupan membiara di dunia Barat lahir di Italia pada tahun 529, salah seorang tokoh yang memberi bentuk berdirinya biara adalah St Benedictus dari Nursia. Ia dikirim ke Roma untuk belajar ilmu keagamaan ketika masih berusia 12 tahun sehingga harus diantar oleh pengasuhnya.
St Benedictus mulai merasakan adanya kemerosotan dan kemaksiatan di kota tersebut. Pada usia 20 tahun, ia meninggalkan lingkungannya, kemudian hidup seorang diri dalam Gua yang terletak tinggi di atas padas dalam daerah yang masih liar diselatan Roma. Pada masa awal daerah ini sangat digemarioleh tiran paling kejam,yakni Kaisar Nero (54-68), istananya yang dibangun di daerah tersebut telah ditumbuhi semak belukar. Ia menggunakan baju berbulu, yakni pakaian kasar yang menggarut tubuh dan biasa dipakai orang yang mau bermati raga
Setelah tiga tahun kemudian di gua, kemudian St Benedictus merenung kembali arti kesunyian serta penyiksaan diri melalui bermati raga. Pada tahun 520 St Benedictus mendirikan sebuah biara di bukit Monte Cassino sebelah utara kota Napoli sebagai perwujudan gagasannya. Biara di Monte Cassino yang didirikan St Benedictus berdasarkan pada kehidupan kebersamaan.Konsep ajaran St benedictus nantinya digunakan sebagai pedoman yang setiap waktu dapat dipakai oleh para biarawan. St Benedictus menuliskan rencana dan cita-citanya dalam suatu dokumen luar biasa yang ia namai “sekadar peraturan bagi para pemula”.
Selama beberapa abad sejak berdirinya biara di Monta Cassino , kehidupa Gereja telah menunjukkan kemerosotan kewibawaannya. Lahirnya biara Cluny dilatarbelakangi oleh kehidupan Gereja tersebut. Para rahib melihat kebobrokan Geraja dengan hati yang semakin cemas. Munculnya biara Cluny membangkitkan sumber semangat yang menyala-nyala di dunia Kristen. Ditengah-tengah zaman feudal itu sebagian para rahib Cluny dicari untuk diangkat sebagai uskup dan uskup agung. Latarbelakang pengangkatan itu rupanya bermotif politis, agar konsep-konsep dalam biara Cluny tidak diterapkan secara secara-merta.
Pengaruh rahib Cluny mulai terasa di pelbagai daerah, bahkan hingga sampai di kepausan di RomaBiara-biara baru mulai tersebar di di wilayah Eropa Barat seperti Jerman, Prancis, dan Inggris. Selama satu setengah abad sejak didirikannya oleh rahib Cluny , ide-ide serta prilaku yang telah disampaikan oleh Biara tersebut telah mendorong semangat bagi sebagian besar para pendeta di Eropa Barat.
Ketika Eropa memasuki zaman feudal (abad IX-XII), terjadi pertentangan antara paus dan para raja Eropa sekitar masalah kekuasaan tersebut. Sumber konflik sebenarnya berpangkal pada masalah investitur. Perbedaan mengenai investiture terjadi antara Paus Gregorious VII (1073-1085) berselisih sengit dengan kaisar Jerman, Hery IV (1056-1106).
Sebagaimana diketahui, bahwa sejak Zaman Feodal teori tentang pemisahan dua macam kekuasaan itu tidak pernah dilaksanakan dengan sesungguhnya. Apabila keduanya mempunyai kepentingan yang sama, antara paus dan raja saling membantu dan memberikan pertolongan. Tetapi pada umumnya, sampai pada pecahnya perselisihan antara yuridikasi Gereja dan imperial dalam abad XI, pengawasan raja terhadap paus adalah lebih besar daripada pengawasan paus tarhadap raja.
III. TEOLOGI DAN HUKUM AGAMA
Membahas masalah teologi pada abad pertengahan tentunya berkaitan dengan peran intelektual pada masa itu. Teologi sebagai pengetahua n yang mengajarkan agama bersumber pada kitab suci,injil.Sejak awal abad XII,konsep teologi yang berbingkai agama Kristen diperkokoh oleh gereja,secara berangsur-angsur mulai berubahkebangkitan kembali aktivitas pengetahuan dengan mulai lahirnya universitas-universitas di eropa ikut pula mendorong ke arah perubahan tersebut.
Filsafat abad pertengahan sejak awal abad XII yang berbarengan pertumbuhan ilmu pengetahuan,menumbuhkan filsafat skolastik. Dalam filsafat skolastik, filsafat tidak harus dibingkai oleh gereja dalam arti bahwa kajian dalamfilsafat hanya sebagian saja yang berhubungan dengan agama. Sebagaimana di ketahui, bahwa skolatikisme adalah merupakan filosofis dalam dalam pandangan yang lebih focus, muncul awal abad XII sebagai suatu sekolah filsafat,skolatikisme mempunyai empat ciri khas, adapun empat cirri khas skolastik adalh sebagai berikut,
Pertama, filsafat tersebut membatasi pada kajian yang biasa dilakukan oleh para penulis ortodok,jika penulisnya duhujat oleh dewan, ia biasanya ingin menarik kembali tulisanya. Rupanya ia menghindari terjadinya konflik dengan dewan tetapi tidak diartikan bahwa penulis skolastik pengecut.
Kedua, bahwa anutan ajaran aristoteles menjadi dasar pemikiran filsafat skolastik. Folsafat tersebut di kenal selama abad XII dan XIII merupakan otoritas supremasi skolastik.
Ketiga, filsafat tersebut mempunyai kebenaran melalui konsep dialektik. Dalam pemikiran tersebut lazim dinamakan syllogistic.
Kempat, bahwa pertanyaan yang bersifat umum, dapat dijawab melalui pentingnya konsep bertanya jawab atau berdialog.
Keberadaan teologi pada abad XII yang bersamaan dengan munculnya filsafat skolastik, tentu saja konsep teologi yang terdahulu menjadi bergeser. Terdapat seorang filsuf dan juga ahli logika, yakni Pierre Abelard (1079-1142), merupakan pakar terbesar abad XII yang berhasil mensitesakan isi pemikiran filsafat yunani dan isi pemikiran ke kristenan. Ia memperhatikan bahwa pengakuan otoritas, peraturan-peraturan gereja yang bersumber injil, pada bapak gereja dan maklumat paus serta dewan gereja, dinilai tidak konsisten dan banyak hal yang dapat dipertanyakan. Ia menulis dalam sebuah buku yang berjudul Sic et Non yang terdiri dari sejumlah pertanyaan dan berbagai jawaban yang berbeda satu sama lain.
Selain menghasilkan risalah yang berjudul Sic et Non Abelrd juga menghasilkan tulisan lain mengenai konsep Trinitas atau Tritunggal, mengenai isi pemikiran Tritunggal Abelard oleh gereja dinyatakan dapat menyesatkan umat Kristen. Akhirnya oleh konsili Gereja di Soissons pada tahun 1121, Abelard dijatuhi hukuman kurungan didalam sebuah biara.
Dalam generasi setelah Abelard pembicaraan teologi dan hokum agama diteruskan oleh Peter Lombard Graian. Keduanya mengikuti pola pemikiran yang telah dilakukan oleh Abelard.seabad kemudian ajaran terakhir Abelard diteruskan oleh Thomas Aquinas.
Pengabdian utama Peter Lombard tehadap gereja adalah memakai pada definisi system sakramen. Sakramen selain sebagai media penyampai perintah keagamaan juga merupakan perwujudan dari persekutuan doa orang-orang yang beriman. Peter menyebutkan ada tujuh sakremen, Yakni pembaptisan,pengesahan,penebusan,dosa,ekaristisuci,ikatan perkawinan,pemberian minyak suci dan orde-orde suci. Ekarsti suci atau yang disebut Holy Eucharist atau the mass, tentu saja hal itu merupakn sakremen utama atau tertinggi. Dalam konsep tersebut menghadirkan tubuh dan darah kristus yang disimbolisasikan dengan roti dan anggur. Tujuanya adalah untuk membangun persekutuan spiritual dengan kristus. Misa merupakan simbolisasi pengorbanan kristus atas dosa-dosa dunia.
Peter Lombard lebih lanjut mengatakan bahwa pembaptisan adalah merupakan sakreman pertama dalam kehidupan pemeluk agama Kristen.sakramen ini dilakukan beberapa hari setelah bayi itu lahir, dan lebih awal jika bayi itu terancam kematian.Makna pembaptisa adalah untuk menyingkirkan kesalahan dosa awal, yang pernah dilakukan orang tua pertama manusia, Adam dan Hawa yang telah melanggar perintah Tuhan. Ketika seorang anak telah dewasa untuk memahami ajaran gereja ia harus mengikuti sakramen confirmation (pengesahan). Sakramen ini untuk menanamkan roh kudus. Sakramen ini dilakuka oleh Uskup.
Ikatan perkawinan atau matrimoni merupakan salah satu dari tujuh maca sakramen. Pada umunya ikatan perkawinan ini dapat menimbulkan suatu dilema. Pada masa Feodal perkawinan juga merupakan ancaman serius bagi gereja.memang, keberadaan gereja pada masa feodal,masalah sakramen ini menjadi kacau. Banyak pendeta yang terkenal tidak menjalani kehidupan Wadat.
Pemberian minyak suci adalah sakramen terakhir dalam kehidupan seorang umat Kristen. Sakramen ini sudah termasuk dalam penebusan dosa jika yang bersangkutan tidak terlalu sakit serta menerima Ekaristi suci dan minyak suci serta doa sang pendeta. Seseorang yang ditahbiskan menjadi seorang pendeta atau pastor harus menjalani sakramen yang disebut Orde-orde suci. Jika ia secara sah menurut hukum gereja sebagai pendeta.
Keberadaan hukum gereja pada zaman feodal telah menunjukkan hal-hal yang dianggap tidak konsisten atau malahan menyimpang. Seperti masalah pengakuan dosa yang kemudian ditindak lanjuti dengan penebusan dosa. Timbul pertanyaan bagaimanakah jika seorang diperkirakan kaya dan seorang Lord yang cukup berkuasa mengaku dosa karena tindakan yang dilakukan tidak baik dengan mudah memperoleh penebusan dari pemimpin gereja, sebaliknya bagi orang yang diduga miskin juga berbuat dosa kemudian mengaku dosa ternyata tidak mudah untuk memperoleh penebusan dosa dalam bentuk mendapatkan suara pengampunan dosa dari gereja. Alasan yang digunakan oleh pimpinan gereja untuk memperoleh uang dari jamaah yang menjalankan perbuatan dosa,uang tersebut tidaklah semata-mata untuk kepentingan pribadi pimpinan gereja. Paus mempunyai wewenang menarik uang dari jemaah untuk membiayai katedral , surat indulgensi yang dikeluarkan pejabat gereja juga digunakan untuk membiayai perang salib.